HOLLA ^^

Jumat, 05 Agustus 2011

Hola, hola,,

This gonna be my first ‘cerpen’ ever written at my ‘adult’ age, xoxo.

Most of this was based on my real journey lol

Enjoy!

***

Sort of phaedophilic.. [judul sementara, i always end up sucks with it]


“Sori, gw ga bisa nerusin smuanya lagi. Mulai sekarang kita temenan aja”

Jingga menatap layar komputer dengan nanar dan kaki yang seketika dingin. Kolom chat facebook di mana kata-kata beruntun itu muncul dan menyentakkannya memburam dalam pandangan Jingga. Ulu hatinya mendadak sakit.

Tidak, tidak di sini. Ini warnet, maag ku tidak boleh kambuh di sini.

Dengan gemetar, Jingga mengetikkan balasan

“Ok. Emang bagusnya kek gitu”

Bergegas melog-out semua akun dan jendela yang terbuka, membayar bill dan pulang ke kosan dengan memegangi ulu hati.

Di tengah jalan menuju kosan, Jingga menyadari perih di lambungnya telah sirna.

Digantikan perih yang jauh lebih ngilu.

Jauh di dasar hatinya.

***

Tiba di kamar, Jingga tak menangis.

Malah pergi ke ruang tivi, bergabung dengan lima atau enam gadis teman kosnya, menonton sinetron tentang sepasang gadis cantik yang tertukar, dan kemelut cinta segi entah berapa.

Ikut tertawa, makan gorengan, dan mengomentari ini-itu.

“Hahahahh, coba liat deh, jidat cewe yang pemeran utama. Jerawatan gilak, padahal dia kan ikon suplemen kecantikan yang kampanye nya kulit mulus bebas noda”

Dan seisi ruang televisi terbahak mendengar celotehan Jingga.

Andai ada yang cukup peduli untuk menyadari, tak biasanya Jingga ikut menonton televisi..

***

Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, malam itu Jingga tak begadang. Dengan wajah lembab sehabis cucimuka, Jingga duduk di tempat tidur.

Sepi.

Semua penghuni kosan masih menonton televisi.

Malam ini tak ada yang ingin dipikirkannya. Otak dan hatinya seperti mengalami penurunan fungsi. Terlalu letih.

Atau terlalu shock.

Jingga hanya ingin tidur.

***

Terganggu teriakan tukang bubur pagi-pagi, Jingga terbangun. Begitu matanya membuka, Jingga teringat kejadian semalam.

Levi, cowok yang tigabulan terakhir melengkungkan pelangi di buram hari-harinya mendadak memutuskan hubungan. Dengan cara yang sangat aneh, malah terkesan tidak sepatutnya; lewat chatting jejaring sosial facebook.

Untunglah Jingga bukan tipikal cewe pengemis; walaupun Jingga shock diputuskan mendadak dengan cara yang menyakitkan pula, Jingga memilih untuk menelan sendiri airmatanya. Hanya merespon ‘Ok’ tanpa embel-embel lainnya walaupun dalam hati terluka parah sekali.

Levi yang cool dan keren.

Levi dengan tatapan sedingin es dan pelit pujian.

Levi yang selalu seperti rollercoaster di mata Jingga.

Levi yang pendiam namun mematikan.

Jingga bangkit. Duduk, bersandar, dan mulai menangis diam-diam.

***

Tapi semua airmata cukup pagi itu saja.

Siangnya Jingga sudah sibuk ngerumpi di teras kosan, mengomentari cowo-cowo yang lewat joging menjelang sore. Jingga yang ngakak paling keras saat sepasang kekasih yang sok mesra bergandengan tangan kompakan menginjak ranjau alias kotoran kucing di depan kosan.

Ah, Jingga memang begitu.

Gadis berkulit putih yang ceriwis, selalu terlihat ceria dan tanpa masalah. Jingga tak suka membagi sisi lemahnya pada sembarang orang.

Meski demikian, Jingga selalu menjadi teman curhat favorit teman-temannya.

Jingga memang pandai bersimpati dan membesarkan hati.

Dan memilih membiarkan hatinya lisut sendiri.

Dengan pendarahan dalam yang tak kunjung menampakkan tepian..

***

Sebulan setelahnya, hari-hari Jingga berlalu seperti biasa. Kuliah, join di multilevel kosmetik, dan sesekali terlibat di UKM. Selebihnya Jingga terlihat lebih sering eksis di teras kosan.

“Eh, si Levi kok udah ngga pernah main ke sini?,” Vanya, teman kos Jingga bertanya

“Hahaha, udah putus cyinn,” mata Jingga tak lepas dari layar handphone

“Jadi skarang lo jalan sama sapa?”

“Nih potonya”

Jingga nyengir memamerkan foto boyband Korea yang disambut timpukan botol plastik oleh Vanya.

***

Andai mereka tau, Jingga tak sebahagia yang selalu mereka lihat.

Jingga diam-diam masih memeram perasaan untuk Levi.

Tak perlu heran, gadis ceriwis seperti Jingga memang sangat terhipnotis oleh cowok-cowok cool yang tak banyak bicara namun mempesona seperti Levi.

Levi yang terlihat begitu istimewa di mata Jingga.

Levi yang cuek dan tak peduli di depan umum namun bisa berubah 180 derajat saat berada di comfort zone nya sendiri.

Levi yang tak suka bergandengan tangan saat di mall, namun mendadak sangat caring saat berdua di kosan Levi.

Levi suka memasakkan mi instan atau memanaskan rendang saat Jingga mulai kelaparan.

Levi sering berlama-lama mengelus rambut merah Jingga “Kenapa sih rambut cowo ngga sehalus rambut cewe?,” atau memuji kulit wajah Jingga yang bebas jerawat.

Di kosannya, Levi suka meminjamkan celana panjang batiknya untuk ganti lantas mengolok-olok Jingga yang menggulung celana tersebut jauh ke atas perut karena kepanjangan.

“Jojon! Hahahah,” dan Levi terbahak hingga mata sipitnya menyisakan garis jenaka.

Levi yang kadang kumat manjanya: minta dipeluk terus-terusan sambil nonton DVD atau disuapi makan.

Levi yang kadang gila, ngajak sok-sok dansa di depan cermin besar kamarnya, tanpa pernah lupa mengejek Jingga “Pendek amat sih lo!,” sementara Jingga hanya akan tertawa dan meleletkan lidah.

Levi juga suka lucu-lucuan, memakai gelang dan bando milik Jingga, lantas bermain gitar, bernyanyi hanya untuk Jingga.

***

Tak ada yang pernah tau, bagaimana sakitnya Jingga saat pertama melihat Levi sudah punya pacar lagi, resmi diumumkan lewat facebook.

Sepintas Jingga terlihat hanya menghela napas dalam-dalam, menggigit bibir, dan segera minum bergelas-gelas air.

Padahal Jingga menghindari dehidrasi karena ruahan airmata yang melimpah namun tak seorangpun bisa melihat.

Jingga menangis, sesenggukan hingga matanya bengkak.

Jingga memang lihai menangis dalam hati.

***

Tiga bulan setelahnya, Jingga belum juga punya pengganti Levi.

Beberapa teman jalan lelaki hanya dianggapnya teman atau saudara, setelah diam-diam mencoret nama mereka dari nominasi hati.

Bukannya sok cantik, Jingga memang tak mudah jatuhcinta.

Apa Jingga mematok selera yang terlampau tinggi?

TIDAK.

Jingga tidak menginginkan laki-laki yang sempurna dengan sederet ceklis tanpa cela.

Jingga hanya menginginkan laki-laki yang Jingga inginkan.

Jingga hanya ingin Levi.

***

Tapi Jingga berubah pikiran setelah bertemu Rizky.

Brondong cyinn,, adik kelas bertubuh atletis dan kulit kecoklatan.

Baik, ramah, dan suka bercanda.

Rizky adalah tipikal cowo yang baik pada semua teman perempuan, ini yang membuat Jingga tertantang. Aku harus jadi yang istimewa dihatinya, pikir Jingga.

Segala cara lantas Jingga tempuh demi mendapatkan Rizky. Sering gondok ke-GR-an, tapi akhirnya Jingga bisa tersenyum puas. Rizky bertekuk lutut dan benar-benar suka pada Jingga.

Tapi lama kelamaan Jingga bosan juga.

Rizky terlalu nrimo, terlalu sering memuji, tak pernah mencela, hingga Jingga jadi eneg sendiri.

Sementara Rizky semakin suka pada Jingga, Jingga malah menjauh. Tak pernah membalas sms dan menyuruh adiknya mengangkat telfon.

Jahat memang.

Tanpa kejelasan hubungan, semuanya berlalu begitu saja.

***

Lepas dari Rizky, Jingga seperti ketagihan memacari cowo-cowo yang lebih muda darinya.

Kali ini giliran Daffa .

Tingginya sekitar 20cm di atas Jingga yang hanya 150cm, dengan kulit bersih dan senyum yang lumayan manis.

Jingga merasa nyambung dengan Daffa yang suka musik dan berwawasan lumayan luas.

Ya, paling tidak untuk ukuran anak kelas 2 SMA.

Daffa memang baru kelas 2 SMA, umurnya saja belum genap 17 tahun. Sementara Jingga sudah semester 8, umurnya 21 jelang 22.

Gila, kata banyak teman Jingga.

Teman-teman Jingga banyak yang menggoda “Cie, si tante, lagi nelfonin keponakan,” setiap Jingga telfonan dengan Daffa.

Tapi Jingga tak peduli dan terus saja pacaran dengan Daffa.

Awalnya semua terasa menyenangkan. Daffa asik, suka menemani Jingga sms an sambil begadang. Meski di dasar hatinya Jingga masih menyimpan Levi, Jingga tak sungkan-sungkan merelakan budget smoothing nya untuk membelikan Daffa kado dan kue tart di hari ulangtahunnya.

Sampai akhirnya Daffa tak lagi masuk bilangan menyenangkan untuk Jingga.

Saat Daffa mulai agresif menampakkan perasaannya terhadap Jingga, intens meng-sms dan menelfon, Jingga justru kehilangan selera. Tak lagi sering membalas sms, atau mengangkat telfon Daffa.

Jingga mungkin jahat, tapi Jingga adalah penganut paham ‘kebahagiaan itu hak azasi, dan tak kenal kompromi’

Persetan perasaanmu, aku hanya ingin bahagia. Salah sendiri berhenti jadi seperti yang saya inginkan.

Jingga bahkan muak setiap melihat nama Daffa muncul di layar handphone nya, dan pernah mematikan hp dari siang hingga malam saking muaknya. 3 hari kemudian, mereka tak pernah bertegur sapa.

Jingga malah bersyukur.

Tapi Daffa tidak.

Akhirnya Jingga dan Daffa putus.

***

Siang ini Jingga suntuk di rumah. Sudah seminggu ia liburan di rumah dengan ritme yang itu-itu saja; bangun siang saat seisi rumah sudah ke kantor, sarapan sendirian,membersihkan rumah, mencuci pakaian, lalu menonton kartun sepanjang hari.

Diraihnya handphone dan mulai klak-klik mengetik.

“Say, jalan yuk!”

Delivered to Dhani, bocah yang baru saja lulus SMP namun bongsor dan lebih besar dari Jingga yang hanya 150cm.

Cowok?

Nope, walaupun namanya ‘Dhani’, sesungguhnya itu hanya pemenggalan yang tak wajar dari nama panjangnya: Wahdaniah-Dhani.

Dan deruman sepeda motor di depan rumah membuat Jingga bangkit, hampir melompat.

“Dhan, tungguin gw mandi dulu yah!”

Setengah jam kemudian, Jingga dan Dhani sudah di jalan.

Melesat di antara puluhan pengguna jalan raya, Jingga sengaja melepas kuncir kuda rambutnya. Meliuk-liuk dipermainkan angin, Jingga berharap sumpek di hatinya bisa ikut terurai.

“Mau ke mana say?” Dhani bertanya

“Ke mana aja say, yang penting asik, hahaha”

“Yaudah, kita mutar-mutar aja”

Di lampu merah, Jingga terpana.

Seorang cowo jangkung berkulit putih, single eyelid, dan rambut kecoklatan mencuat tepat berada di samping Jingga dan Dhani.

DEG!

Mata mereka bertumbukan saat cowo itu merasa ada yang mengamati dirinya dari arah jam sembilan.

Shit, lampu hijau, dan Dhani segera menancap kebutannya.

Padahal Jingga masih ingin berlama-lama bertatapan dengan cowo di lampumerah itu.

Mata single eyelid, rambut jabrik kecoklatan,, dan lekuk maskulin bibir itu,, rasanya tak asing di mata Jingga.

Tapi di mana ya?

***

Dhani dan Jingga akhirnya lelah berputar-putar tanpa tujuan. Mereka lalu singgah makan bakso, lalu ke pantai dengan eskrim cone di tangan.

Di tanggul pantai, sambil melihat-lihat pemandangan, Jingga tiba-tiba teringat cowo di lampumerah tadi.

‘’Dhan, lo liat ga sii, cowo yang naik ninja RR di samping kita tadi?”

“Ga tuh, penting apa liatin orang di lampumerah”

‘’Idih, anaknya cakep taukk”

“Mau cakep, mau kaga, auk ah, ga napsu gw”

“Dasar mencurigakan lo”

Dhani ngakak saat Jingga menoyor kepalanya yang berambut supercepak.

***

Tigahari setelahnya, pukul sebelas siang, seperti biasa Jingga sendirian di rumah. Mama-Papa belum pulang kantor, adik-adiknya pada ke sekolah.

Jingga duduk di teras, membaca koran lokal langganan Papa.

Tiba-tiba derum sepeda motor yang melesat mencuri perhatian Jingga

“Ugh, dasar anak-anak esempe nor..”

Gerutuan Jingga menggantung di udara.

Ninja RR warna hijau, bocah lelaki bercelana biru pendek tanpa helm, rambutnya jabrik kecoklatan, kulit putih,, KYAAAA!!!

Cowo yang kemaren gw liat di lampumerah!

Jingga bangkit ke kamar

“Halo, Dhan!! Tebak siang ini gw liat apaan?”

“Mmh,, mas tukang sayur yang mesum itu?”

“Isyhh,, Dhani ahh,, gw liat cowo yang kemaren di lampu merah tauukk,, lewat depan rumah gw barusan!”

“Trus kenapa? Aduh, plis deh Jingga, abis makan apa sih lo? Biasanya juga kalo liat cowo cakep kamu biasa aja, secakep apa sih?”

Jingga ngakak, tiba-tiba teringat cowo itu ternyata masih bocah esempe.

***

Sorenya, Dhani datang ke rumah Jingga. Memenuhi janji untuk rujakan sekalian menemani Jingga mencuci piring.

Tengah asik-asiknya rujakan, si cowo ninja RR mendadak lewat. Jingga menepuk lengan Dhani keras sekali sambil berseru “Dhann,, itu dia lewat lagi!!”

Dhani melengos

“Yaelah Jinggaa, itu kan si Ciko, anaknya bu Nunung”

Jingga membelalak sembari menutup mulutnya

“Seriusss?! Ciko yang bocah ingusan daki’an itu kan? Yang kumal suka ke sekolah pake sendal?”

UNBELIEVEABLE

How come?!

***

Wajar bila Jingga shock luarbiasa.

Ciko, cowo cakep yang dilihatnya di lampu merah dan ternyata masih bocah 3 esempe itu ternyata tetangganya sendiri. Bukan tetangga yang dekat-dekat banget siih, lumayanlah beda beberapa blok dari rumah Jingga.

Dan Jingga kenal Ciko sejak kecil.

Barangkali sejak Ciko masih bayi.

Ya, Ciko adalah anak bu Nunung, guru Jingga saat masih sekolah dasar kelas dua. Dan rasanya sulit bagi Jingga untuk bisa lupa pada ingatan tentang Ciko; bocah itu lahir tepat saat bu Nunung yang menjadi wali kelasnya. Dan sebagai konsekuensi, selama beberapa bulan Jingga dan teman-teman sekelasnya harus masuk pukul sepuluh pagi, menunggui bu Nunung kelar memandikan, menyusui, lalu menidurkan Ciko.

Sampai Jingga SMA, Ciko sering main ke rumah Jingga. Main sepeda bareng Acing, adik Jingga. Dan suatu Ramadan, Jingga pernah ikut mendaki bukit di belakang rumah bersama teman-teman Acing [termasuk Ciko], iseng mengintip sunrise di balik pegunungan.

Yang Jingga ingat tentang Ciko adalah bocah dekil dengan banyak debu di betis, terlihat sangat ‘ieewwh’ setiap berkeringat sehabis main sepedaan, mata single eyelid yang sering sok-sok an di tempat ngaji, atau gigi-gigi Ciko yang kentara dia malas gosokgigi. Dan ya, Ciko sedikit tidak bisa mengontrol air liurnya untuk tidak berleleran.

Lantas sekarang?

Ciko sudah berubah, sangat berubah sekali. Tingginya melonjak drastis, seimbang dengan badannya yang mulai berisi [terlihat sangat seksi memakai singlet tanpa lengan dalam imaji liar Jingga], pipinya sudah tidak setirus dulu, kulitnya bersih, dengan garis senyum nakal yang membuat hati Jingga meleleh seperti eskrim.

Kemana perginya Ciko yang malas gosokgigi, daki’an, dan ‘iewwh’ itu?!

***

“Dhan, rasa-rasanya gw naksir sama Ciko deh”

‘WHAT?! Gilak apa lo? Nyebut bu,nyebuuttt!! Ingat umur kamu berapa!”

Jingga tak menanggapi, hanya menaik-turunkan alisnya jenaka

“Ciko itu masi kelas 3 esempe, kamu udah semester lapan! Ga takut apa dibilangin tante-tante pedofil?”

Jingga ngakak

“Dhan, cariin nomer hapenya Ciko yah?”

***

Dengan segala daya dan upaya, akhirnya Jingga berhasil memacari Ciko. Bocah yang terpaut sepuluh tahun di bawahnya itu dibuat termehek-mehek cenat-cenut oleh sejuta rayuan maut ala mahasiswa semester delapan yang dilancarkan Jingga.

Jingga bersorak menang, sementara Dhani geleng-geleng tak percaya.

Jingga yang biasanya sangat selektif memilih pacar, bisa-bisanya terjun bebas seperti ini.

***

Walaupun childish, Ciko yang tinggi dan wangi tetap bisa membuat Jingga jatuhcinta. Di mata Jingga, perpaduan fisik yang jangkung seperti orang dewasa namun kepribadian childish itu menggemaskan. Ehem, seksi.

Jingga dan Ciko biasanya jalan ke pantai, atau belanja wardrobe ke distro.

Menonton Ciko bermain futsal, atau menonton pensi di sekolahnya.

Ciko pun tak segan-segan main ke rumah Jingga, ngobrol ngalur-ngidul hingga sore.

Awalnya, tak banyak yang curiga akan hubungan beda umur yang tak wajar ini, tapi lama-kelamaan ketahuan juga.

Jingga didamprat habis-habisan oleh Papa dan Mama.

Ciko pun mendadak menjauh.

Suatu kali, Jingga ke warung beli susu dan berpapasan dengan bu Nunung. Sinar matanya seperti enggan melihat Jingga. Mungkin ada yang tertahan di tenggorokannya:

“Tolong jangan rusak masadepan anak saya”

***

Liburan yang panjang telah berakhir. Saatnya Jingga kembali ke Makassar, kota tempatnya menjalani kuliah di sebuah perguruan tinggi yang konon terkemuka.

Rutinitas yang melelahkan. Kuliah setiap hari.

Dan sore itu, Jingga baru saja pulang dari kuliah sore yang berat. Dosennya mendadak memberikan kuis, lima nomer namun tiap nomer beranak kembar tiga.

Dengan rambut kusutmasai Jingga menyebrang jalan, bersungut-sungut mengapa jalanan ramai sekali.

Di muka gang menuju kosan, Jingga singgah sebentar membeli minum. Handphonenya mendadak berdering.

“Halo, yo Dhan, ngape lo?”

Jingga berjalan dengan konsentrasi penuh pada minumannya. Dan..

BRUUKK!!

Jingga menubruk sesuatu yang empuk.

Dan bisa berbicara.

“Kak, maaf kak, ga sengaja”

“Euh? Oh, iya gapapa dek”

Bocah anak tetangga kosan Jingga itu pun berlalu.

Namanya Zul, usianya barangkali masih kelas 6 esde.

Sudah lumayan lama Jingga tak melihat Zul.

Bocah tambun itu entah mengapa terlihat begitu menarik dalam pandangan Jingga sore ini. Dipandanginya Zul sampai jauh menghilang di kelokan gang, tak lagi abai pada Dhani di ujung telefon.

“Halo, haloo!! Jingga, oi Jingga??!!”

Tanpa sadar, bibir Jingga menyunggingkan segaris senyum aneh.

Perburuan baru segera dimulai..

***

THE END, HEHEHE


Pondok Nurhidaya I, 18:08 PM

PS:

Selamat berbuka puasa, folks

Love u all :*

xo,

MC

[dilempar ke selokan]

5 komentar:

deja_Vu mengatakan...

biarmie sa kommen jg di sini nah..!!
naMu bilagi bomaka "silent reader"pdhl memang.
jiakakaka.....

kerenq say...

deviansejati mengatakan...

hyahahha,, maap baru kuinga' lg pwordqu kk,,
makasi bnyak yahh
tersanjumm
*lovelove

deja_Vu mengatakan...

maap slama ini jd "silent reader" ! hehe
u tunggui pemburuan berikutnya yaph.

deviansejati mengatakan...

sipp masbroo,,
love u lah :)

Welcome to my blog mengatakan...

we sapa it levi nah ko mksud??
klo i vang..kasi masukka jg dalam tulisanmu..ada tmnna vang kereng jh..hahahaha

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates